Selasa, 20 September 2011

MASIH ADAKAH SAUDARA SEIMAN?


MASIH ADAKAH SAUDARA SEIMAN?
Bacaan 1 Korintus 12-13, Kisah Para rasul 2:41-47, 1 Yohanes 2:3-6, Matius 16:24, Matius 22:37-40, Matius 25:31-46, Lukas 12:41-44
Suatu hari kami berbincang dengan tetangga kami yang non Kristen, mengenai kehidupan berkeluarga. Saat kami berbincang itu, saya mengagumi apa yang dilakukan oleh keluarga besar tetangga saya tersebut. Bagaimana setiap keluarga saling memperdulikan anggota keluarga yang lain terutama masalah pendidikan. Anggota keluarga yang sukses secara materi dengan antusias membantu anggota keluarga yang kurang beruntung dalam hal pendidikan anak. Mereka ingin seluruh keluarga besar mereka menjadi orang-orang yang sukses. “Wouw…sebuah nilai yang sangat baik dan merupakan “prinsip tubuh Kristus banget”.
Di hari yang lain, saya berjumpa dan berbincang dengan teman saya yang “lagi-lagi” non Kristen. Salah satu topik pembicaraan kami adalah tentang usaha dan dia cerita bagaimana keluarga besarnya saling membantu dan menopang satu dengan yang lainnya dalam usaha hingga setiap anggota keluarga berkecukupan dan nama keluarga besar mereka “diperhitungkan” dalam masyarakat. “Lagi-lagi” saya melihat prinsip tubuh Kristus yang dipraktekkan oleh mereka, dimana mereka menganggap setiap anggota bagian keluarga itu penting.
Beberapa hari lalu, teman kami yang merupakan saudara seiman datang dan “curhat” bagaimana mereka yang berencana membeli rumah KPR ternyata tertipu oleh pengembang. Hingga seluruh uang mereka habis dan rencana mereka memiliki rumah tahun ini buyar seketika. Bahkan mereka diusir dari rumah kontrakan mereka sebab sudah jatuh tempo. Mereka sudah coba berbagi dengan keluarga besar mereka tetapi “tak ada bantuan atau paling tidak masukan untuk jalan keluar”, mereka malah disalahkan karena tidak berhati-hati. Beban mereka sudah menekan dan masih pula ditekan-tekan, entah mereka salah langkah atau tidak. Tapi mereka sangat butuh pertolongan. Ini sama saja dengan kecelakaan lalu lintas, ketika seseorang teledor berkendara dan terjadi kecelakaan. Kita akan segera menolongnya entah dia salah atau tidak, itu urusan nanti yang terpenting menyelamatkan nyawa seseorang.
Mereka saat itu sudah tak tahu hendak kemana, pergi ke gereja dan berbicara dengan pendeta, mereka diberikan nasehat rohani dan doa. Tetapi lalu mereka harus kemana dengan anak-anak? Mereka menangis di sisi jalan, tak tahu lagi mau kemana? Lalu mereka pergi menemui kami dan coba untuk berbincang dengan kami. Mereka sudah patah arang dan tidak tahu harus berbuat apa.
Kondisi kami pun sebenarnya tidak lebih baik, sebab kami belum membayar sisa kontrakan kami. Tapi paling tidak kami untuk saat ini masih memiliki tempat berteduh. Kami coba posisikan diri kami di dalam kondisi mereka. Akhirnya untuk beberapa hai mereka tinggal bersama kami, sambil berdoa dan berusaha,”Puji Tuhan, ada seorang anak Tuhan yang hendak menjual rumah tapi belum laku mengizinkan mereka tinggal selama 2 bulan secara cuma-cuma.”
Kami mungkin bukan keluarga kaya secara materi tetapi apa yang kami miliki, entah telinga untuk mendengarkan, entah itu mungkin sepiring nasi dan segelas air, mungkin pakaian, mungkin sedikit uang, atau apa pun yang kami miliki bila itu dapat menolong atau memberkati saudara seiman mengapa tidak? Bukankah kita keluarga di dalam Tuhan dan sudah seharusnya keluarga itu saling menolong, menasehati dan mendoakan. Bagaimana kalau kita “hanya” ditipu oleh seorang yang mengaku “saudara seiman”? Saya pun dulu pernah berpikir begitu sampai saya mendengar pernyataan Pdt Benjamin Waturangi, “Lebih baik salah memberi daripada salah tidak memberi”. Jangan beralasan tunggu kalau saya “sudah jadi kaya” baru mau mulai memberi, mulailah dari sekarang dari apa yang kita miliki.
Point apa yang hendak saya sampaikan melalui tulisan ini? Apa yang hendak saya garisbawahi adalah seharusnya kita sebagai anak Tuhan memiliki kasih yang lebih dan kepekaan terhadap kebutuhan sesamanya entah saudara seiman mau pun mereka yang “belum percaya”. Sebab kita ini satu di dalam Tuhan Yesus sebagai bagian dari keluarga Tuhan dan anggota tubuh Kristus, bagi yang belum percaya kita harus jadi terang dan garam. Seharusnya Tuhan yang kita sembah itu dapat terefleksi dalam kehidupan kita sehari-hari. Banyak orang Kristen yang agamawi tetapi tidak rohani.
Orang Kristen agamawi sangat rajin “rajin beribadah dan mengikuti setiap kegiatan gereja” tetapi lalu menghakimi saudara seimannya yang tak dapat “serajin” dirinya dan merasa dirinya lebih rohani daripada yang lain. Biasanya pintar menggunakan ayat-ayat firman Tuhan, bukan untuk membangun tetapi biasanya untuk “menyerang” saudaranya yang dia anggap tidak serohani dan sekudus dirinya.
Bagaimana dengan orang Kristen rohani? Ia adalah seorang yang mencintai kebenaran, membaca firman Tuhan, berdoa dan mencari kehendak Tuhan dalam hidupnya. Ia akan melakukan kebenaran firman Tuhan dan coba membimbing saudaranya bukan hanya dengan kata-kata tetapi gaya hidupnya atau teladannya. Ketika melihat saudaranya tengah lemah maka ia bukan saja mendoakan tetapi juga berupaya secara optimal menolong saudaranya. Tuhan mengajarkan pada kita “apa yang kau kehendaki orang lain perbuat pada dirimu, lakukanlah hal itu terlebih dulu pada orang lain.”
Saya merasa “malu” ketika melihat orang yang belum percaya justru malah mempraktekkan kebenaran yang ada dalam Kitab Suci kita. Saya “sedih” selama ini mungkin kita tidak pernah atau jarang membaca Alkitab secara utuh dan hanya membacanya sepenggal-sepenggal hingga gambar kita akan kehendak Tuhan pun terpemggal-penggal. Kita hanya mau membaca bagian Alkitab yang menyenangkan telinga dan hati kita tetapi mengabaikan ayat-ayat yang “kurang menyenangkan” apalagi bila berbicara mengenai “pikul salib”, “menderita bagi Kristus”, saling berbagi atau saling menolong hingga tak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka, dstnya.
Doa saya adalah agar setiap anak Tuhan bertumbuh di dalam Kristus, setiap hari menyelidiki kebenaran dan lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan melalui bimbingan dan pertolongan Roh Kudus. Tidak cukup bagi kita hanya jadi orang Kristen yang rajin ke gereja dan “hanya” makan “fast food” dari Bapak Pendeta. Kita bisa saja makan atau jajan di luar rumah tetapi pada dasarnya kita perlu makanan sehat saat di rumah. Kita bisa saja menghadiri gereja atau seminar dan kegiatan rohani lainnya tetapi sangatlah penting memiliki disiplin membaca dan merenungkan Alkitab sendiri bersama dengan Tuhan. Kita harus bertanya pada Tuhan setiap kali membaca Alkitab, apa yang hendak IA sampaikan pada kita. Setiap hari Tuhan ingin membentuk kita makin segambar dengan pribadiNYA dan membimbing kita untuk semakin mengerti panggilanNYA bagi kita selama kita hidup di muka bumi ini. Sebab setiap kita memiliki tugas dari Tuhan untuk diselesaikan, sebab itu kita sebagai saudara seiman saling membutuhkan. Kerajaan Tuhan harus ditegakkan bersama-sama bukan hanya oleh salah satu “merk” gereja atau lembaga. Keluarga Tuhan seharusnya terekspresi dalam kasih kita satu dengan yang lain dan kekompakan kita di dalam Tuhan Yesus. Siapa “tuhan” kita sebenarnya dalam hati kita akan terekspresikan dalam hidup sehari-hari kita.

Tidak ada komentar: