Rabu, 20 Juli 2011

THE POWER OF SUPPORT (KUASA DUKUNGAN)


THE POWER OF SUPPORT
(KUASA DUKUNGAN)



Saat saya mengikuti Discipleship Training School tahun 1995 yang diselenggarakan lembaga misi Youth With A Mission (YWAM) di Jakarta, ada sebuah pelajaran yang dalam pelajaran itu kita harus menguatkan teman sekelas kita, dengan pujian, kata-kata yang mendorong semangatnya dan juga menyatakan sisi kehidupannya yang positif yang telah menjadi berkat bagi rekan-rekan yang lain.
Nampaknya hal yang sederhana dan mudah saja namun ternyata tidak sesederhana yang diperkirakan setelah beberapa teman mengucapkan hal-hal positif tentang rekan tersebut. Kami yang mendapat giliran belakangan sedikit kesulitan untuk mencari hal-hal positif dari rekan tersebut.

Saat itulah saya baru menyadari betapa mudah bagi kita mengucapkan hal-hal yang negatif tentang orang lain dan ternyata sulit untuk menilai orang di sekitar kita secara positif.
Kita terkondisi oleh lingkungan maupun entertainment kita untuk membicarakan kekurangan orang lain. Rating acara gosip di TV sangat tinggi begitu pula angka penjualan tabloid gosip. Jadi sadar atau tidak mindset kita sudah terbiasa untuk mengutarakan hal yang negatif tentang orang lain.

Salah seorang teman pelayanan saya, suatu hari berujar,”Kak Dave, kalau mau tahu gosip terkini yang ada di lingkungan gereja? Pergilah ke ruang doa dan dengarkan “pokok-pokok doa” yang akan dipanjatkan.”
Banyak sekali orang di ruang doa, dan biasanya oknum-oknum ini menyatakan pokok doa seperti,”Ini beban doa yang perlu dipanjatkan dan ini hanya diantara kita saja. Anak Tante Petty (bukan nama sebenarnya) hamil di luar nikah konon mereka akan melakukan aborsi, kita perlu mendoakan untuk hal ini. Sebab itu Tante Petty tidak hadir dalam doa pagi ini. Terimakasih.”
Setelah “pokok doa” disampaikan orang-orang memang berdoa namun setelah itu sikap mereka terhadap Tante Petty berubah. Padahal putri Tante Petty tidak hamil, hanya saja memang gemar makan hingga menjadi lebih gemuk terlebih setelah mulai bekerja dan punya uang sendiri.
Seringkali pokok doa menjadi bahan gosip di lingkungan gereja dan hal ini harus dihentikan.

Kita sebagai anak Tuhan harus berubah dan melatih diri untuk tidak menyatakan hal-hal yang negatif tentang orang lain namun mulai belajar mendisiplin diri mendukung orang lain dan menyatakan sisi positif dari orang tersebut.
Waspada bila kita mulai berkumpul bersama, hati-hati jangan mulai saling membicarakan saudara kita yang tidak hadir. Biasanya dari situlah muncul gosip dan bila tidak menjaga hati kitapun akan terpengaruh dan memandang orang tersebut secara negatif. Padahal belum tentu pribadi orang tersebut seperti itu.
Ada kalanya bila kita terlibat dalam pembicaraan yang negatif, sebaiknya kita diam dan tidak ikut larut membicarakan keburukan orang lain. Sebab bila kita turut andil berkomentar itu seolah menuangkan bensin ke dalam api yang mulai menyala.

Apa yang dipesankan oleh Tuhan melalui Yakobus dalam kitab Yakobus 3:9-10, ”Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian.”
Pesan Rasul Paulus pada anak rohaninya Titus,”Tetapi hindarilah persoalan yang dicari-cari dan yang bodoh, persoalan silsilah, percekcokan dan pertengkaran mengenai Hukum Taurat, karena semua itu tidak berguna dan sia-sia belaka.” (Titus 3:10)
Tuhan Yesus menyatakan, Tetapi AKU berkata kepadamu:Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum. (Matius 12:36-37)
Rasul Paulus pun menyampaikan pesan Tuhan pada jemaat di Efesus,”Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, dimana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.” (Efesus 4:29-31)

Suatu hari mungkin kita mendapati saudara seiman kita atau bahkan kita sendiri bersikap kasar dan emosional. Namun bukan berarti itu menjadi alasan bagi kita untuk membuat gosip. Seseorang mungkin saja lepas kendali kala menghadapi permasalahan yang berat. Kita perlu menyadari bahwa setiap orang, kita semua, sedang dalam proses pertumbuhan di dalam Tuhan. Kita kadang melakukan tindakan atau keputusan yang salah. Namun bukan berarti menjadi suatu alasan bagi kita untuk membicarakan kekurangan orang lain.
Ada hukum sebab akibat, oleh karena itu ketika kita menemui saudara kita atau seseorang bertindak di luar kebiasaannya, kita perlu bersabar. Mungkin ia tengah menghadapi permasalahan berat hingga ia meluapkan emosinya dengan cara tersebut. Jangan terburu-buru menilai dan membuat kesimpulan sepihak.

Apa Yang Harus Kita Lakukan Untuk Menghentikan Kebiasaan Buruk Ini?

1. Kita harus mendisiplin lidah kita. Pikirkan dulu apa yang hendak kau katakan, jangan asal bicara.
2. Pikirkan hal yang positif tentang orang lain.
3. Bila dirimu sendiri tidak mau digosipkan, maka janganlah menggosipkan diri orang lain. Atau meskipun kita tidak bergosip tetapi orang lain menggosipkan kita, janganlah melawan api dengan api. Siramkan air agar api padam. Dengan kata lain diamkan saja, berdoa & ampuni orang tersebut sebab Tuhan yang akan bela kita.
4. Mulailah biasakan diri untuk memberikan kata-kata penguatan atau dorongan semangat bagi orang lain.
5. Tinggalkan kelompok orang yang suka bergosip.

(Catatan: digosipkan = dipergunjingkan, menggosipkan = mempergunjingkan)

Selasa, 05 Juli 2011

THE POWER OF SENSITIVE MOMENTS (KUASA SAAT YANG SENSITIF)


THE POWER OF SENSITIVE MOMENTS
(KUASA SAAT YANG SENSITIF)



Kami memiliki tanaman bunga mawar di halaman rumah kami. Mawar merupakan bunga kesukaan kami sekeluarga sebab nampak lembut, cantik dan indah. Mawar seperti emosi seseorang, entah di kala ia tengah mengalami masa krisis atau trauma maupun hal-hal yang indah.
Setangkai mawar dapat menggambarkan peristiwa bahagia maupun duka dalam kehidupan seseorang. Sebagaimana setangkai mawar bila kita gagal melihat momentumnya mekar maka kita mungkin hanya melihat setangkai mawar yang mulai layu atau bahkan sudah rontok sama sekali dari tangkainya.
Manusia merupakan makhluk yang memiliki emosi. Kita dapat merasakan kegembiraan, ketakutan, mendapatkan masalah, memiliki impian. Ada kalanya kita merasa melangkah di atas awan-awan, ada kalanya kita merasa berjalan dalam lembah kelam yang menakutkan.

Suatu kali rekan kami bersaksi di saat ia dan istrinya mengikuti suatu perjalanan wisata keliling Eropa. Kala mereka menaiki pesawat, sang pramuwisata meminta maaf sebab mereka mendapatkan kursi di bagian merokok (smoking area), yang tentunya membuat mereka kurang nyaman sebab mereka bukan perokok.
Di samping tempat duduk mereka, nampak seorang wanita lanjut usia yang berwajah sangat dingin tanpa ekspresi, ia pun merupakan anggota dari grup perjalanan wisata keliling Eropa yang sama. Ia tak henti-hentinya mengisap rokok bagaikan cerobong kereta api tua. Pertama-tama mereka merasa kurang nyaman dan rasanya ingin pindah ke tempat duduk yang lain. Sayangnya, semua tempat duduk penuh sebab sedang musim liburan panjang (summer vacation).
Suami istri ini merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat dari Tuhan untuk menyapa wanita tua itu. Akhirnya mereka menyapa dia,”Hai, apa kabar Bu?”
Wanita tua itupun menjawab,”Yah...begitulah..” matanya menerawang sambil kembali mengisap rokok itu dalam-dalam.
Kawanku memperkenalkan diri mereka dan lalu bertanya,”Apakah Ibu sendirian?”
Wanita itu pun menjawab,”Saya baru saja sebulan ini menjanda, kami telah menabung selama bertahun-tahun agar kami dapat pergi berlibur bersama keliling Eropa. Kami mendambakan saat-saat indah ini. Setahun terakhir kami telah mempersiapkan diri dengan menghubungi agen perjalanan. Kami sangat bersemangat namun sebulan lalu ia meninggal akibat serangan jantung.”
Kawanku terpaku dan terdiam seribu bahasa. Suami istri, sahabatku ini, saling berpandangan merasa bersalah telah memandang wanita itu dengan prasangka.
Akhirnya mereka menjadi sahabat dari wanita tua itu selama perjalanan tour tersebut. Tuhan memakai kawan-kawan saya ini untuk melayani ibu itu. Hingga ia mengalami pemulihan dan bahkan bertemu Tuhan secara pribadi.

Anda pernah menonton film bergenre mafia China atau Triad? Di saat mereka bersumpah setia satu dengan yang lainnya, mereka mengambil sebilah pisau, mengerat telapak tangannya dan mencampurkan darah mereka dengan minuman keras lalu meminumnya sambil mengucapkan sebuah sumpah bersama untuk setia pada kelompok mereka sampai mati.
Sebelum saya mengenal Tuhan Yesus, pada pertengahan 80-an saya merupakan bagian sebuah geng motor, Moonraker, di kota Bandung. Suatu kali akibat pertarungan di jalanan, saya tertusuk dan hampir mati. Beberapa rekan di geng, datang ke rumah sakit dan mereka bertanya pada saya, siapakah yang telah melukai saya. Kesetiakawanan mereka mendorong mereka untuk mencari “musuh” saya. Musuh saya berarti musuh mereka pula. Oleh kesetiakawanan mereka menyelundupkan rokok, minuman keras dan narkoba ke rumah sakit. Oleh kesetiakawanan mereka menjagai saya dari serangan musuh, dengan berjaga di rumah sakit. Semua itu mereka lakukan karena kami ada dalam “satu keluarga”.
Entah Triad, entah saya dan teman-teman di geng dulu, melakukan hal yang salah dan meresahkan. Namun saya dapat katakan Iblis menggunakan rasa persaudaraan atau ikatan persaudaraan (brotherhood) itu sebagai ikatan keluarga. Iblis mencuri dan menirunya dari ikatan persaudaraan kita dalam Kristus.
Sadarkah saudara dan saya adalah saudara yang dipersatukan oleh darah Kristus? Namun mengapa kasih dan perhatian kita sangat lemah dan kurang satu dengan yang lainnya? Maukah kita berkorban demi saudara seiman kita? Apakah kasih dan komitmen kita sebagai anak Tuhan kadarnya jauh lebih rendah dari anak geng atau anggota mafia yang ada dalam kesesatan?
Kita seharusnya lebih perduli satu dengan yang lainnya, salah satu yang membuat dunia takjub pada kehidupan jemaat mula-mula, adalah kasih di antara mereka satu dengan yang lainnya hingga berani berkorban demi kepentingan saudara seimannya. Jumlah mereka bertambah karena gaya hidup mereka yang penuh kasih.
Bukankah Tuhan Yesus pun mengajarkan pada kita agar kita saling mengasihi dan hal itu yang membedakan kita dengan orang yang lainnya. “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti AKU telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKU, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh 13:34-35)

Leonard Ravenhill, seorang pengkhotbah, tokoh kebangunan rohani dan gembala yang terkenal mengatakan,”The early church makes people amazed but the church today want to be amused.” (Gereja mula-mula membuat orang di sekelilingnya takjub, gereja masa kini jemaatnya ingin terhibur).

Dr. Dietrich Kuhl dalam bukunya GEREJA MULA-MULA (SEJARAH GEREJA JILID I). Menyatakan bagaimana kehidupan jemaat mula-mula yang sangat berpengaruh pada masa itu. Mereka sesungguhnya mengikuti pola menjadi terang dan garam dunia sebagaimana yang Tuhan Yesus ajarkan (Mat 5 :13-16) sebagai bagian kehidupan dan bukan sekedar program. Kehidupan mereka berbeda dari cara hidup masyarakat pada masa kekuasaan Romawi kala itu.
Bila kita berbicara mengenai etika Kristen; kesetiaan orang Kristen pada umumnya jauh berbeda dengan kemerosotan moral yang terjadi dalam masyarakat masa itu. Agama-agama di dalam kerajaan Romawi pada masa itu tidak banyak menyinggung tatanan etika kehidupan. Khususnya dalam hal kekudusan pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Orang Kristen menjaga kesucian pernikahan dan keharmonisan rumahtangga, tidak berkompromi dengan segala penyimpangan seks yang ada.

Dalam hal kepemilikan dan pengelolaan harta benda dalam kehidupan jemaat mula-mula pun berbeda dengan “gaya hidup” kita yang banyak terkontaminasi oleh “Injil Kemakmuran” (pemberitaan Injil yang menekankan orang Kristen hidup kaya raya secara materi dan penitikberatan pada menikmatinya untuk diri sendiri/ hidup pribadi). Pada jemaat mula-mula mereka melihat harta benda dan kekayaan sebagai titipan atau pinjaman dari Tuhan yang harus digunakan untuk kemuliaanNYA. Orang Kristen mula-mula melihat dirinya sebagai steward (stewardship) atau penatalayan atau pengurus uangNya Tuhan dan bukan sebagai pemilik (owner/ownership). Pemilik apapun yang mereka atau kita miliki adalah titipan Tuhan, DIA-lah pemilik harta benda yang ada pada kita. Manusia ditugaskan untuk memelihara dengan baik dan menggunakan harta yang ada untuk kemuliaan SANG PEMILIK. Penggunaan harta benda yang ada pada kita kini, suatu hari harus dipertanggungjawabkan dihadapanNYA. Sebab itu orang percaya hiduplah sederhana atau milikilah perasaan cukup dan tidak hidup boros dan bermewah-mewah. Pada abad ke 3, di tengah-tengah penghambatan gereja oleh Kaisar Decius, Jemaat di Roma memberikan sokongan kepada 1.500 orang miskin dan jemaat di Anthiokia memberi sokongan kepada 10.000 orang miskin. Gereja pada masa itu menitikberatkan pada membangun tubuh Kristus, mereka menginvestasikan keuangan mereka pada saudara yang berkekurangan hingga tak seorangpun berkekurangan (Kis 2:44-45, 4:32-36). Gaya hidup jemaat mula-mula inilah yang dikutip dan menjadi salah satu dasar dari gerakan komunisme atau kaum sosialis, hanya saja mereka tidak menjadikan Kristus sebagai pusat kehidupan mereka. Menjadi kaya dan berkelimpahan harta dilihat sebagai salah satu karunia untuk menjadi alat Tuhan melakukan transformasi bagi masyarakat di mana ia tinggal. Ketika orang hidup dalam keegoisan, jemaat mula-mula menunjukkan kepedulian terhadap sesamanya. Orang miskin dilihat sebagai saudara yang membutuhkan bukan sebagai beban hidup yang perlu ditinggalkan dan diabaikan. Dalam suratnya, Paulus pada Timotius, ia menyatakan,”Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan kepada Allah yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.” (1 Tim 6:17-19)

Pada masa jemaat mula-mula, perbudakan pun merupakan sesuatu yang biasa. Pada masa itu budak tidak mempunyai hak dan dianggap sebagai benda bukan lagi sebagai sesama manusia. Namun terjadi revolusi kasih dalam kekristenan yang membuat para orang Kristen yang mempunyai budak dapat menerima budak mereka sebagai saudara seimannya (hal ini tersurat dalam Surat Paulus kepada Filemon). Untuk menggambarkan bagaimana buruknya kehidupan seorang budak mungkin kita akan menjadi jauh lebih mengerti dengan membaca apa yang dikatakan oleh Aristoteles (284-322 SM),”Tidak mungkin bahwa kita berteman dan bersahabat dengan seorang budak, karena ia adalah suatu benda yang tidak mempunyai jiwa. Juga keadilan terhadap seorang budak tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak perlu dilaksanakan, karena ia tidak berjiwa. Para budak hanya merupakan suatu benda atau alat semata-mata.”
Parah sekali dan malang benar seorang yang menjadi budak pada masa itu. Sebab budak tidak tergolong sebagai “manusia” tetapi “benda”. Revolusi kasih yang terjadi dalam lingkungan jemaat sendiri adalah tidak adanya perbedaan di antara budak dan tuannya. Semua anggota bergaul selaku saudara. Bukan berarti kini para budak dapat berlaku semaunya. Paulus menasehati para budak untuk melayani tuannya dengan patuh, jujur, dan sabar, baik pada tuan yang seiman maupun tuan yang belum percaya, baik tuan yang adil maupun tuan yang kejam (Bandingkan 1 Kor 7:21-24, Ef 6:5-6, Gal 3:28, Tit 2:9-10, 1 Ptr 18-21). Hal yang luar biasa pada masa itu adalah saat seorang budak menjadi uskup di Roma, pada tahun 217-222, Callistus 1 atau Calixtus 1 diangkat menjadi Uskup Roma. Ini merupakan daya tarik yang besar pada masa itu sebab budak dipandang sebagai saudara dan anggota keluarga Tuhan.

Kita harus berubah, kita harus menguji kembali dasar-dasar kekristenan kita. Jangan-jangan kita membangun dasar iman kita pada injil yang lain dan bukannya Injil Kristus. Bukankah Rasul Paulus sudah memperingatkan kita agar berhati-hati? Apakah kita makin seperti Kristus? Apakah Kristus menjadi Tuhan dan Raja atas seluruh aspek kehidupan kita?
Atau jangan-jangan kita hanya menjadikan Yesus sebagai agen asuransi agar selamat beroleh hidup kekal dan tidak masuk neraka. Atau satpam agar kita dijaga, rumah kita tidak kemalingan, semua selamat di jalan, mobil tidak dicuri atau mengalami insiden di jalan. Atau menjadikan dia Jin di dalam Botol, yang harus mengikuti semua kehendak kita.
Kita harus cek kembali dasar kekristenan kita, kita membangunnya dengan dasar Kristus atau dongeng 1001 malam.

Bila dasar kita benar dalam Kristus maka belaskasihNYA akan muncul, kita akan melayani dan memandang orang-orang disekitar kita dengan kasih yang melimpah. Kala kita disentuh oleh Kristus, kita dapat memiliki belas kasihan dan rasa simpati yang lebih terhadap sesama. Bukan itu saja hidup kita akan menjadi sebuah magnet bagi orang lain. Anda akan terkejut ketika orang-orang datang membuka diri dan meminta nasehat dari Anda. Bukan karena Anda hebat namun karena mereka melihat pribadi Kristus dalam Anda.

Kebanyakan orang enggan berinteraksi dengan orang yang tengah dirundung masalah. Saya ingat saat orangtua saya berkelimpahan secara materi, setiap hari ada saja orang yang muncul di rumah. Sampai pusing, ini rumah apa terminal? Siapa saja datang dengan berbagai agendanya. Namun saat Papa terkena PHK dan ekonomi keluarga kami merosot drastis. Orang-orang tadi tidak pernah muncul lagi, apalagi untuk datang menawarkan pertolongan. Persis peribahasa,”Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang atau ada gula ada semut.”
Itulah kehidupan dan dunia nyata yang kejam. Sebagai anak Tuhan seharusnya kita tampil beda. Kasih kita seharusnya tanpa pamrih dan jauh dari agenda pribadi.

Ada juga orang yang suka mengail di air keruh saat seseorang ditimpa masalah mereka bukan datang membawa solusi yang baik malah menambah permasalahan. Umpamanya suatu kali ada seorang konseli (orang yang mau konseling) yang datang dan bertanya mengenai masalah rumahtangganya. Ia hendak bercerai dengan suaminya. Ia merasa suaminya bukanlah anak Tuhan yang sungguh-sungguh hanya seorang Kristen KTP saja sedang dia rajin pelayanan dan mengikuti tiap ibadah di gereja. Ia pun berdalih saat mereka menikah mereka belum sungguh-sungguh mengenal Tuhan, jadi pasti suaminya bukanlah jodoh pilihan Tuhan baginya. Dalam benaknya timbul pemikiran bahwa permasalahan rumahtangganya muncul akibat menikahi “pria yang salah”.
Setelah ia mencurahkan isi hatinya, saya pun bertanya anda mendapat ide-ide pemikiran tersebut darimana? Ternyata ia mendapatkan ide bercerai itu atas pengaruh teman-temannya.
Ada yang mengatakan,”Kamu tuh seharusnya menikmati hidup, untuk apa menikah dengan pria yang tidak mendukungmu dalam pelayanan.”
Ada yang menyatakan,”Ceraikan saja, sebab dulu saat menikah khan belum Kristen lahir baru. Kalau jodoh dari Tuhan pasti rumahtanggamu lancar.”
Dan masih banyak sampah-sampah yang memenuhi otaknya, sayangnya banyak juga yang menyebut dirinya anak Tuhan turut andil “merusak” konseli kami ini.
Bila ditelaah permasalahan konseli kami timbul akibat ia “terlalu sibuk pelayanan dan beribadah” di gereja hingga suami dan anaknya yang belum sungguh-sungguh merasa tersisihkan di rumah. Kami menasehati konseli kami untuk mengurangi waktu “pelayanan” di gereja, sebab seharusnya ia melayani keluarga terlebih dulu. Ia sempat berpikir bila ia dengan setia maka otomatis Tuhan akan melayani suami dan anaknya. Namun yang terjadi sebaliknya. Tuhan akan campur tangan saat kita melayani pasangan kita dan anak kita dengan baik. Jangan jadikan “pelayanan” sebagai pelarian dari tanggungjawab kita di rumah. Ingat pula bahwa syarat seseorang menjadi “pelayan Tuhan” adalah karakternya sudah teruji di rumahtangganya dan bahkan masyarakat (1 Tim 3:1-13, Tit 1:6-9).

Puji Tuhan kini keluarga ini bukan saja harmonis namun juga bersama-sama melayani Tuhan. Melayani Tuhan bukan hanya berarti pelayanan di gereja, kita melayani Tuhan juga saat menjadi suami atau istri yang memperhatikan pasangannya, menjadi teladan bagi pasangan, anak-anak dan lingkungan dimana kita tinggal pun termasuk pelayanan. Jangan membatasi kata “pelayanan” hanya sebagai bentuk aktivitas di dalam gereja semata. Sebab arti pelayanan sangatlah luas. Pelayanan harus terlahir dari hubungan pribadi kita dengan Tuhan, terekspresikan dalam kehidupan sehari-hari, dialami oleh anggota keluarga atau orang serumah dan lalu diperluas dengan melayani lingkungan dimana kita tinggal, saudara seiman lainnya dan aktif dalam kegiatan rohani lainnya.