RENUNGAN MISI: KAUM PEREMPUAN DI LADANG MISI
Kisah Para Rasul
mencatat tentang Priskila, seorang perempuan yang dipakai Allah untuk
menjangkau setidaknya tiga bangsa yang berbeda: Roma, Yunani, dan Asia
Kecil. Sebagai seorang yang berasal dari kawasan Asia Kecil, perempuan
yang menganut agama Yahudi ini tinggal di Roma bersama suaminya sampai
pemerintah Roma mengusir semua orang Yahudi dari kota itu. Ketika
keduanya bertemu dengan Paulus, mereka telah menjadi orang percaya.
Mereka menerima Paulus di rumah mereka, memimpin gereja rumah, dan
dipercaya oleh Paulus untuk mengajarkan jalan Allah dengan lebih teliti
kepada Apolos -- seorang Yahudi Mesir yang amat fasih dalam berkata-kata
(Kisah Para Rasul 18:26).
Paulus mengenali dan menghormati bakat
pasangan ini sehingga mereka berdua pun mengikuti Paulus untuk melayani
di Efesus. Karena nama Priskila selalu berada dalam urutan pertama
setiap kali pasangan itu disebutkan, tafsiran Jamieson, Fausset, dan
Brown, memberi indikasi bahwa "sang istri dianggap lebih menonjol dan
lebih menolong bagi jemaat". Lebih menarik lagi, peran Priskila dalam
pelayanan lintas budaya, kepemimpinan, dan pengajaran dianggap sebagai
sesuatu yang lumrah sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari penulis
kitab Kisah Para Rasul ini! Tampaknya, peran Priskila diterima dan
diharapkan oleh jemaat, serta tidak dianggap kontroversial atau sebagai
sesuatu yang luar biasa.
DALAM GERAKAN MISI MULA-MULA
Pada
awal perkembangan pelayanan misi Protestan, kebanyakan perempuan yang
pergi ke ladang misi adalah para istri misionaris. Pria-pria yang cerdas
menyadari bahwa mereka tidak mungkin melakukan kontak dengan perempuan
di negara-negara non-Barat. Karena itu, mereka membutuhkan istri mereka
untuk mengambil tanggung jawab ini.
Namun demikian,
perempuan-perempuan ini jarang menerima pengakuan atas beban yang mereka
pikul, baik atas upaya mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka
sendiri maupun atas usaha mereka mengembangkan program bagi para
perempuan di ladang pelayanan. Dulu, seorang misionaris perempuan pergi
ke ladang misi hanya untuk mengurus anak-anak pelayan misi yang lain
atau melayani bersama sebuah keluarga misionaris. Namun, lama-kelamaan,
kesempatan mulai terbuka bagi mereka. R. Pierce Beaver menyebutkan hasil
pelayanan Cynthia Farrar di India, Elizabeth Agnew di Ceylon (Sri
Lanka, red.) dan para perempuan lajang lainnya yang mulai menjadi
penyelia bagi sekolah-sekolah untuk perempuan. Secara diam-diam, mereka
melayani di zenana-zenana dan harem-harem. Namun, tetap saja pelayanan
yang efektif itu jarang mendapat publisitas.
Namun, para pemimpin
seperti D. L. Moody, A. B. Simpson, dan A. J. Gordon percaya akan
pentingnya mengasah bakat para perempuan untuk mengerjakan pelayanan
umum. Baik J. Hudson Taylor, sang pendiri China Inland Mission/CHM
(sekarang OMF International, red.) maupun Fredrik Franson, pendiri TEAM
(The Evangelical Alliance Mission), memandang perlunya perekrutan dan
pengutusan para pelayan perempuan untuk melayani secara lintas budaya.
Pada tahun 1888, Taylor menulis, "Kami mengisi pos-pos kami dengan para
perempuan." Semenjak awal pelayanannya, Taylor mengharapkan para
perempuan, baik lajang maupun yang telah menikah, untuk mengerjakan
setiap tugas pelayanan, termasuk berkhotbah dan mengajar.
Dalam
studinya terhadap korespondensi dan artikel-artikel yang diterbitkan
oleh kaum perempuan di ladang pelayanan, Jane Hunter menemukan bahwa
"mayoritas misionaris perempuan lebih termotivasi oleh komitmen yang
dalam kepada Tuhan, daripada terhadap keinginan untuk diakui dalam
organisasi". Laporan itu juga mencakup kualitas kaum perempuan yang
melayani di gereja pengutus misionaris. Para penggerak seperti Annie
Armstrong dan Helen Baret Montgomery mendedikasikan diri mereka untuk
mengembangkan kelompok-kelompok doa pendukung misionaris, menggalang
dana, dan menggerakkan orang-orang Kristen lainnya dalam mendukung
berbagai jenis pelayanan.
CARA MENGUTUS YANG BARU
Perang
Sipil Amerika menjadi katalis dalam perubahan cara mengutus kaum
perempuan ke ladang misi. Penyebabnya adalah begitu banyak laki-laki
yang meninggal sehingga banyak perempuan yang menjanda atau tidak jadi
menikah. "Hal ini memaksa kaum perempuan untuk memikul tanggung jawab
yang baru seperti mengelola usaha, bank, lahan pertanian, mendirikan
sekolah-sekolah sehingga dalam 50 tahun kemudian, mereka pun mewariskan
peran yang lebih besar daripada kaum laki-laki dalam pergerakan misi."
Akan
tetapi, karena kebanyakan lembaga misi menolak mengutus kaum perempuan
ke ladang misi, kaum perempuan pun mendirikan lembaga misi mereka
sendiri. Lembaga misi perempuan yang pertama adalah Women's Union
Missionary Society. Dalam tahun-tahun selanjutnya, lembaga-lembaga
sejenis pun bermunculan di AS. Lembaga-lembaga ini mendirikan
tempat-tempat pendidikan khusus perempuan, terutama untuk melatih kaum
perempuan ke ladang misi. Selain mendorong kaum perempuan untuk melayani
di luar negeri, lebih dari 100.000 gereja mengembangkan
kelompok-kelompok misi kaum perempuan, hal ini menjadikan gereja-gereja
tersebut sebagai pusat doa dan dana yang tangguh.
Pada tahun
1910, tercatat ada 44 lembaga misi perempuan di AS, dan kebanyakan dari
lembaga ini berasal dari denominasi arus utama. Lembaga-lembaga ini
telah mengutus setidaknya 2.000 perempuan ke ladang misi dan sanggup
menggalang dana lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh badan
misi reguler. Ini menunjukkan bahwa pendukung yang berada di negara asal
memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap pelayanan misi luar negeri.
Sayangnya, setelah bergabung dengan lembaga misi reguler pada tahun
1920-an dan '30-an, peran perempuan dalam pelayanan misi secara langsung
pun semakin menyusut.
MASIH BERTAHAN HINGGA KINI
Secara
umum, sekitar 2/3 dari total kekuatan misi yang ada sekarang ini berada
di tangan kaum perempuan. Para petinggi lembaga misi setuju bahwa
semakin sulit dan semakin berbahaya sebuah pelayanan misi, semakin besar
pula keinginan kaum perempuan untuk mengerjakannya! Dari pengalamannya,
David Yonggi Cho menyimpulkan bahwa perempuan adalah pilihan yang
paling tepat untuk pelayanan misi yang sulit dan bersifat perintisan.
"Kami menemukan bahwa pelayan perempuan cenderung tidak mudah menyerah
dalam situasi yang sulit. Kaum laki-laki memang pilihan yang tepat untuk
membangun sebuah pelayanan, tapi kaum perempuan dapat menjadi lebih
gigih daripada laki-laki ketika menghadapi kesulitan."
Beberapa
pihak berasumsi bahwa kaum perempuan tidak dapat berbuat banyak dalam
menghadapi rintangan yang unik di dunia Muslim. Namun, di tengah-tengah
sebuah kelompok suku "beragama sepupu" di sub-Sahara Afrika, seorang
perempuan lajang sanggup menjadi guru Injil bagi para Imam (guru "agama
sepupu") di sana. Mereka memandang pelayan misi ini sebagai "seorang
perempuan", bukan ancaman, dan tidak berbahaya. Akan tetapi, perempuan
ini mendirikan pelayanannya di atas hubungan pribadi dan pengetahuan
Alkitab. Ia tidak pernah memberi mereka jawaban langsung. Ia hanya
menunjukkan kepada para imam tersebut bagaimana mencari jawaban tersebut
dalam Alkitab, dan Allah mengonfirmasi pengajarannya melalui mimpi dan
penglihatan kepada para pemimpin agama tersebut. Setelah dipertobatkan,
para imam itulah yang mengajar anggota suku yang lainnya dan mereka
menerima misionaris perempuan itu sebagai saudari mereka yang penuh
kasih, yang sangat memperhatikan mereka.
Editorial yang ditulis
oleh Jim Reapsome dalam majalah "World Pulse" (9 Oktober 1992), yang
menganjurkan pelatihan dan dukungan yang lebih kepada kaum perempuan,
mendapat surat ucapan terima kasih dari seorang misionaris yang melayani
sebuah kelompok suku agama sepupu di Asia Tenggara. Berikut ini adalah
cuplikan dari surat tersebut:
"Menariknya, meskipun pelatihan
misi sering kali ditujukan bagi kaum laki-laki, tetapi di daerah X ini,
semua penginjil terbaik kami adalah perempuan! Bahkan, tiga orang mitra
penting kami (yang pelayanannya berkembang secara luar biasa) adalah
perempuan. Tentang staf magang, kami hanya memiliki seorang pelayan
laki-laki yang rela berkorban untuk datang kemari, tetapi ada empat
orang perempuan yang mau datang kemari (dan tiga lagi sedang menyusul ke
tempat ini). Di hadapan "agama sepupu" yang cauvinis, kita harus terus
diingatkan bahwa kekristenan adalah sesuatu yang berbeda, yaitu sebuah
panggilan yang sama, baik terhadap kaum laki-laki maupun kaum perempuan,
untuk menuju hidup baru yang utuh."
BERBAGAI KESEMPATAN DI BIDANG-BIDANG KHUSUS
Beberapa
tahun terakhir, kaum perempuan telah membuktikan bahwa dirinya sanggup
beradaptasi dalam peran-peran khusus di ladang misi. Wycliffe Bible
Translators menemukan dalam beberapa tahun belakangan ini bahwa sebuah
tim yang terdiri dari beberapa perempuan lajang dapat menyelesaikan
penerjemahan dengan lebih baik daripada tim yang terdiri dari para pria
lajang.
Para perempuan Kristen pada hari ini harus menyadari dan
merayakan warisan mereka. Hari ini, kita dapat belajar dari tokoh-tokoh
perempuan yang mengerjakan kehendak Kristus dan mempersembahkan diri
mereka untuk menjadi teladan bagi perempuan lainnya. Pandanglah Mary
Slessor, seorang lajang yang merintis pelayanan di Afrika, dan Ann
Judson yang melayani Birma, dan Rosalind Goforth yang melayani China --
keduanya adalah istri misionaris yang juga melayani sepenuh hati.
Pandanglah Amy Carmichael yang melayani India, sampai Mildred Cable di
Gurun Gobi. Pandanglah Gladys Aylward, seorang perempuan mungil berhati
teguh yang melayani China, sampai Bunda Eliza Davis George, seorang
misionaris perempuan yang melayani Liberia. Pandanglah Rachel Saint sang
penerjemah, dan Helen Roseveare sang dokter. Pandanglah Isabel Kuhn dan
Elisabeth Elliot yang menggerakkan para misionaris untuk menulis, dan
Lottie Moon yang memelopori para misionaris untuk menjadi pendidik.
Pandanglah para pembantu rumah tangga dari Filipina yang melayani Tuhan
di Timur Tengah, dan perempuan-perempuan yang menjabat sebagai eksekutif
di kantor-kantor gereja. Pandanglah para "perempuan Alkitab" yang
berjuang untuk China sekalipun nama mereka tidak dikenal. Ini adalah
daftar yang sangat panjang dan agung!
Daftar itu belumlah lengkap
karena masih menunggu kiprah generasi ini dan yang akan datang. Saat
ini, kaum perempuan kepunyaan Allah dapat menikmati kebebasan dan
kesempatan yang tidak pernah dilihat oleh para pendahulu mereka. Saat
ini, kebanyakan usaha kecil dikelola sendiri oleh kaum perempuan. Dan,
tak sedikit pula yang telah menduduki posisi penting dalam pemerintahan
dan medis. Ingatlah, "Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari
padanya akan banyak dituntut." (Lukas 12:48)
Bagaimana kaum
perempuan masa kini ikut menuai kesempatan demi tujuan Bapa mereka? Kaum
perempuan, dapat memberi sumbangsih kepada tugas yang ada di hadapan
mereka dengan menjadi penggerak, mempersembahkan keterampilan, akses,
pengetahuan, kelembutan, intuisi, serta semangat mereka yang unik kepada
Allah. Kaum perempuan masa kini akan menjadi perintis iman yang penuh
pengabdian dan kesetiaan seperti yang dilakukan para pendahulu mereka di
sepanjang sejarah. (t/Yudo)
Diterjemahkan dan diringkas dari:
Nama situs: The Travelling Team
Alamat URL:
http://www.thetravelingteam.org/?q=node/96Penulis: Marguerite Kraft and Meg Crossman
Tanggal akses: 23 September 2013